Reportase Salah Kaprah di TV dan Radio

“Rekan Achir, silahkan dengan laporan Anda,” ucap pembawa acara Liputan 6, Duma.
“Baik, Duma terima kasih. Saat ini, saya sedang berada di kawasan…”

Cuplikan dialog di atas merupakan salah satu penggalan proses laporan langsung berita di sebuah stasiun televisi. Sudah menjadi kebiasaan kebanyakan stasiun televisi atau radio, untuk berdialog atau membuat semacam kata pengantar sebelum laporan langsung terjadi. Mereka biasanya saling menyebut nama masing-masing, sebagai sapaan yang memperlancar proses dialog.

“Rekan Duma, sampai laporan ini kami sampaikan…” ucap Achir melanjutkan laporannya, “Kembali ditemukan seorang korban tewas…”

Kembali nama anchor disebut reporter dalam laporannya, ketika menjawab pertanyaan anchor. Di beberapa stasiun televisi dan radio, anchor atau penyiar seringkali memberikan pertanyaan lanjutan setelah reporter memberikan laporan langsungnya. Dan celakanya, mereka seperti berdialog berdua dan melupakan para penonton atau pendengar. Si reporter seolah-olah memberikan informasi kepada presenternya, bukan kepada pemirsa.

Mengabaikan Pendengar atau Penonton
Sebuah kesalahan fatal yang sering terjadi ketika reporter di lapangan dan penyiar di studio berdialog. Mereka seolah berbicara berdua saja, sedangkan penonton dan pendengar diabaikan. Padahal, laporan reporter bukan untuk penyiar melainkan bagi kepentingan publik (penonton dan pendengar). Seharusnya, mereka menyapa atau menyebut pemirsa dalam contoh kalimat di atas.

Misal:
“Ya pemirsa, sampai laporan ini kami informasikan kepada Anda, sudah kembali ditemukan satu korban tewas…”

Jadi, meski yang bertanya adalah penyiar, seorang reporter tetap harus memberikan jawaban buat pemirsa, bukan untuk penyiar. Kenapa? Karena mereka siaran untuk publik. Jangan pernah sekali-kali mengabaikan pemirsa.   Mereka butuh disapa, disentuh, dan diwakili kepentingannya. Setiap laporan, setiap informasi, setiap pertanyaan dari kru televisi, selalu dan harus mewakili kepentingan publik. Kita bisa melihat apakah pertanyaan seorang pembawa acara atau reporter, berkualitas atau tidak, dari isinya. Jika isinya mewakili pertanyaan publik, kita pasti akan senang dan menganggap pertanyaannya berkualitas. Sebaliknya, jika pertanyaannya kebanyakan pertanyaan titipan dari yang berkepentingan (bukan publik) yang biasanya tidak mewakili publik, kita pasti kecewa dan menganggap pertanyaannya tidak bermutu.

Demikian pula ketika reportase langsung. Seorang penyiar dan reporter di lapangan, seyogyanya berbicara kepada pemirsa mereka, bukan asyik berdialog antar mereka sendiri. Apalagi melaporkan apa yang dilihat, didengar dan diperolehnya di lapangan, untuk presenter di studio.

Salah kaprah!

Dodi Mawardi
Penulis, Pengajar dan Pengamat Media Mass Elektronik

10 Comments

  1. Saya setuju dengan tulisan Mas Dodi di atas. Tapi, pada kuliah semester sebelumnya, ada salah satu dosen saya yang mengatakan bahwa, toss antara reporter dengan anchor perlu. Setelah itu reporter tetap menyapa publik dalam laporannya.

    Maka dari itu di tugas radio saya kemarin, saya menyertakan toss hehehe…

    1. Rikha, senang mendapat komentar dari Anda. Benar, saya juga sepakat, kadang perlu terjadi interaksi antara reporter dengan penyiar. Asal tidak berlebihan dan tidak melupakan penonton. Apalagi ketika ada interaksi, penyiar bertanya tentang suatu hal yang tidak diketahui reporternya hehe…

  2. Betul sekali……penyiar (anchor) di studio jangan sampai nampak sedang ngobrol berdua dan melupakan pendengar atau penonkon (khalayak). Karena kita laporan justru untuk tujuan agar diketahui khalayak. Penyebutan nama di awal atau akhir laporan adalah petunjuk bahwa ini bukan rekaman atau rekayasa dari studio, ini live….langsung.