Proses Kreatif Penulisan Buku Karya Helmy Yahya, “Breaking The Wall”

Pertengahan Januari 2021

”Dod, apa kabar?” katanya di ujung telepon. Suaranya familiar dan amat bersahabat. Smiling voice-nya begitu terasa. Saya sudah tahu siapa yang menelepon karena namanya tersimpan dalam buku telepon: ’Helmy Yahya’. Si Raja Kuis, Raja Reality Show, salah satu manusia paling kreatif di negeri ini. Akhir tahun 2020, juga sempat bertukar sapa lewat telepon.

Beberapa tahun silam, saya bekerja sama dengannya. Tentu saja urusan menulis buku. Saya membantunya menulis buku sebagai penulis pendamping (co-writer). Sayang sekali, naskah yang sudah sekitar 90% gagal terbit karena berbagai alasan teknis. Saya sungguh menyesal naskah itu tidak rampung. Ketika ia menelepon lagi, saya pikir akan melanjutkan naskah tersebut. Ternyata tidak.

Saya mengikuti perkembangan mas Helmy, melalui pemberitaan media massa dan media sosial. Saya follow IG-nya dan subscribe saluran YouTube-nya. Ketika ia diberhentikan sebagai Direktur Utama TVRI pada awal 2020, saya juga memberikannya support meski hanya melalui komentar di IG. Pemberhentian yang sangat menyesakkan bagi publik karena menyaksikan sendiri bagaimana perubahan positif TVRI di tangan mas Helmy. Tentu lebih menyesakkan lagi untuk mas Helmy.

Dan… untuk urusan itulah mas Helmy menelepon. “Menuliskan kisah perjuangan saya dan kawan-kawan mengubah TVRI hanya dalam waktu dua tahun…” begitu versi singkat permintaannya. Tanpa banyak pertimbangan, saya langsung menyetujuinya. Suatu kisah yang pasti menarik. Apalagi saya juga sudah mengikuti kisahnya. Sudah baca cerita-ceritanya di media massa dan media sosial. Sempat ikut emosi juga melihat bagaimana TVRI kemudian menjadi ajang kepentingan pihak tertentu. Bahkan saya pernah diskusi singkat tentang hal itu dengan Ketua KPI – Agung Suprio kawan sekampus di FISIP UI sekaligus kolega ketika sama-sama bekerja di stasiun radio Smart FM.

Akhir Januari 2021

Saya bertemu dengan mas Helmy di rumahnya di kawasan Cipete Utara, mendengarkan secara langsung rencana penulisan buku ini. Tentu dengan tetap menjaga protokol kesehatan, karena ternyata beberapa pekan sebelumnya ia positif Covid-19. Seperti biasa, mas Helmy bercerita dengan penuh semangat dan antusias. Luar biasa. Ternyata apa yang dituliskan media massa tentang kiprahnya di TVRI, mungkin tidak sampai 10%-nya. Begitu banyak hal seru yang dialaminya selama dua tahun di sana. Saya begitu penuh semangat untuk segera mengetikkan kisah itu ke dalam laptop. Singkat cerita, dimulailah perjalanan proses penulisan kisah transformasi TVRI di tangan Helmy Yahya.

Begini prosesnya…

Sebagai penulis saya amat beruntung.

Pertama, materi calon buku ini sudah disusun mas Helmy dalam bentuk powerpoint. Hmm… menyenangkan, karena saya sudah amat terbiasa mengkonversi si ppt itu menjadi naskah buku. Hanya dengan membaca poin-poin penting setiap halaman, bisa meluas sampai berhalaman-halaman. Susunan materi dalam powerpoint itu juga sudah runut, sehingga bisa menjadi calon kerangka tulisan (ragangan), sekaligus calon daftar isi. Materi powerpoint itu adalah bahan mas Helmy pelatihan di berbagai perusahaan. Ternyata, sudah banyak perusahaan yang mengundangnya sebagai pembicara, termasuk khusus menceritakan tentang transformasi TVRI. Ia menyebutnya sebagai “Breaking the wall.” Belakangan, rekaman suara pelatihannya pun bisa saya dapatkan.

Kedua, mas Helmy memang pembicara andal, sehingga bisa bercerita dengan begitu sistemastis dan menarik. Buat penulis (dan wartawan), narasumber yang biasa bicara dengan sistematis serta menarik cara bicaranya, merupakan suatu anugerah. Bahan baku akan mengalir dengan deras. Dalam beberapa kali wawancara saja melalui Video Call WA dan Zoom, sudah begitu banyak materi yang saya dapatkan. Bahan ppt dilengkapi oleh penjelasan lisan yang begitu mudah dicerna. Kalau tidak salah hitung, hanya tiga kali kami wawancara online tersebut. Durasi sekitar 1 – 1,5 jam.

Ketiga, ada beberapa wawancara mas Helmy di saluran YouTube pihak lain tentang kisahnya didepak dari TVRI. Misal dengan Deddy Corbuzier, Sandiaga Uno, dan Daniel Mananta. Isi rekaman itu sangat menarik dan menambah kaya materi buku karena mas Helmy berkisah juga tentang perubahan di TVRI.

Itulah keberuntungan saya sebagai penulis. Materinya lengkap. Dengan materi yang lengkap tersebut tentu mempermudah proses penulisan. Meskipun… selalu ada tantangan dalam setiap proses penulisan. Setiap naskah buku punya kisahnya masing-masing. Seolah tidak mau kalah dengan bukunya kelak ketika sudah menjadi, yang memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Proses penulisan tidak lebih dari dua bulan. Mungkin hanya satu setengah bulan. Yang lebih lama adalah… proses revisi, koreksi, dan penyuntingan.

Kami melakukan proses pasca menulis itu bersama-sama. Beberapa kali melalui zoom. Bahkan ketika saya berada di Kalimantan Utara, untuk keperluan pekerjaan proyek menulis di sana, kami tetap berproses. Hanya sekali kami tatap muka untuk proses penyuntingan ini. Satu demi satu, halaman demi halaman, diperiksa. Mas Helmy membacanya secara detail. Tak ada yang terlewat. Memberikan catatan. Mengubah kata dan kalimat. Menambahi data dan fakta. Atau sebaliknya, menghapus naskah yang dirasa kurang pas. Terutama jika menyinggung pihak-pihak tertentu.

Ketika saya menulis naskah ini, kadang terbawa perasaan kesal, sebal, dan mangkel, atas perlakuan beberapa pihak kepada Helmy Yahya. Emosi ikut serta di dalamnya. Namun, mas Helmy berhasil meredam rasa itu. Dia menghapus hampir seluruh kalimat yang berisi seolah rasa kesal dan kecewa setelah diberhentikan. Bahkan dia mewanti-wanti saya untuk menghapus satu bab yang isinya cenderung emosional. Lalu menggantinya dengan bahasa yang lebih halus. Saya kagum dengan keseimbangan emosinya dalam merespon peristiwa yang sesungguhnya sangat menyakitkan tersebut. Bagian terakhir dalam buku tersebut, menggambarkan secara nyata bagaimana keikhlasan mas Helmy yang justru berbuah begitu banyak keberkahan. Dan saya belajar banyak dari hal tersebut.

Proses revisi, koreksi, dan penyuntingan berlangsung sekitar dua bulan. Dilanjutkan dengan proses pracetak, mendesain kover, merancang halaman demi halaman, dan mencetak dummy. Biasanya, dalam penulisan buku seperti ini, yang dicetak berwarna dan banyak gambar/foto, tersendat karena ketersediaan foto dan gambar. Butuh waktu untuk mencari dan kemudian memilihnya. Saya lagi-lagi beruntung. Mas Helmy sudah menyediakannya secara lengkap. Asistennya – mas Fajar – mengirim tidak kurang dari 500 foto kegiatan mas Helmy yang sesuai dengan isi buku. Memang ada proses seleksi foto, tapi relatif cepat.

Judul buku ini sudah ditentukan sejak awal, sesuai dengan nama pelatihannya, “Breaking the Wall.” Namun, kami harus menambahkan subjudul agar menjadi lebih menarik buat pembaca. Subjudulnya adalah “Pelajaran Manajerial Berharga Di Balik Transformasi TVRI.” Saya pikir subjudulnya mewakili isi sekaligus menarik perhatian. Terpampang dengan jelas di bawah judul besar pada kover. Awalnya, tim saya yang membuat kover buku ini. Namun, akhirnya hasil desain Rachel Yahya, putri mas Helmy yang terpilih menjadi kover, seperti yang Anda lihat sekarang.

Keseluruhan proses pracetak ini tidak terlalu lama, mungkin hanya sekitar satu bulan. Sampai keputusan diambil untuk segera naik cetak pada pekan ketiga Juli, mengejar target launching pada 24 Agustus 2021Tepat pada hari ulang tahun TVRI ke-59. Penentuan waktu peluncuran yang amat ciamik!

—————-

Seperti biasa, dalam buku ini nama saya ditulis sebagai co-writer (penulis pendamping). Status yang sengaja saya bangun sejak terjun ke dunia penulisan pada 2006 lalu. Saya menjenamakan diri sebagai spesialis penulis pendamping bagi siapa pun yang mau menulis buku, namun tidak punya waktu dan atau kemampuan untuk menuliskannya. Sudah lebih dari 50 tokoh publik, pengusaha, pembicara, dan lainnya yang memanfaatkan saya sebagai penulis pendamping.

Tinggalkan komentar